Sosialisasi 1000 HPK oleh Kepala Perwakilan BKKBN Riau di Desa Aur Kuning: Jeritan Sunyi dari Pedalaman, Harapan yang Berlayar di Atas Sampan

oleh
oleh

 

Pekanbaru, 1 Oktober 2025 –
Di sebuah desa kecil bernama Aur Kuning, yang terletak jauh di pedalaman Kecamatan Kampar Kiri Hulu, kehidupan berjalan pelan, terhimpit oleh keterbatasan. Untuk sampai ke desa ini, orang harus menantang alur sungai yang sempit, menumpang sampan sebagai satu-satunya jalur penghubung. Setiap tetes air yang terpercik ke tubuh seakan mengisyaratkan betapa beratnya akses menuju pelayanan dasar.

Di tengah sunyi dan terjalnya perjalanan itu, hadir seorang tamu: Mhd. Irzal, SE., ME., Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Riau. Ia datang bukan membawa janji kosong, melainkan membawa pesan tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)—masa paling rapuh, masa paling menentukan, masa di mana seorang anak ditakar apakah kelak akan tumbuh sehat dan cerdas, atau justru tersungkur dalam lingkaran stunting.

1000 Hari: Masa Emas yang Mudah Pudar
Para ahli menyebut 1000 HPK sebagai periode emas, karena di sanalah otak dan tubuh anak berkembang begitu cepat, tak tergantikan, dan tak akan terulang. Tetapi di Aur Kuning, “periode emas” itu seringkali tampak seperti periode gelap.

Betapa banyak ibu hamil yang melewati hari demi hari tanpa cukup asupan gizi. Betapa banyak bayi lahir dengan berat badan rendah, menangis lirih di gendongan ibu yang juga kelelahan karena lapar. Stunting bukan sekadar istilah medis—ia adalah wajah pucat, tubuh kerdil, dan masa depan yang pelan-pelan memudar.

Di hadapan para orang tua dan kader desa, Irzal menekankan: tanpa pengasuhan tepat di masa 1000 HPK, risiko stunting bisa meningkat 20-30%. Dan stunting bukan hanya gagal tumbuh secara fisik, tetapi juga kehilangan kecerdasan, kehilangan daya saing, kehilangan kesempatan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Sosialisasi ini mengingatkan betapa pentingnya pemberian ASI eksklusif, nutrisi seimbang, dan stimulasi dini. Namun bagaimana jika beras saja sering tak cukup? Bagaimana jika telur dan susu menjadi kemewahan yang hanya hadir sesekali? Di Aur Kuning, setiap butir makanan adalah hasil kerja keras, dan setiap vitamin adalah kemewahan yang sering tak terbeli.

BKKBN Riau berusaha memadukan program ini dengan “Bangga Kencana” dan program nasional lain. Mereka bicara tentang tablet tambah darah, tentang menu bergizi, tentang Kelas Orang Tua Hebat. Tetapi para ibu di pedalaman hanya bisa menatap jauh: bagaimana cara mereka menyiapkan semua itu, jika jalan menuju layanan kesehatan saja harus ditempuh dengan sampan, menantang derasnya arus dan sunyi hutan?

Rifian Handi, S.Sos., M.Si., Koordinator Lapangan, menyambut kedatangan Kepala Perwakilan BKKBN itu dengan penuh harap. Namun ia juga tak kuasa menyembunyikan kepedihan.
Ia tahu, betapa sulitnya desa-desa terpencil ini menjerit, berharap diperhatikan. Setiap kali ia menatap wajah anak-anak di Aur Kuning, ia melihat mata yang berbinar setengah redup, seakan bertanya: apakah aku akan tumbuh besar, atau terhenti di sini saja?
“Untuk sekadar pelayanan dasar,” ujar Rifian dalam lirih, “warga harus menantang jarak, menanggung lapar, menunggu waktu yang sering terlalu lama.” Kata-kata itu adalah pengakuan jujur bahwa pembangunan belum sepenuhnya hadir di pedalaman, dan masyarakat masih berdiri di garis tipis antara harapan dan keputusasaan.

Stunting sering disebut dalam angka dan persentase: 32,05% di Kabupaten Kampar. Namun di Aur Kuning, stunting bukan angka. Ia adalah suara tangisan anak yang tak lagi kuat, langkah kecil yang tersendat, tubuh rapuh yang mudah sakit, dan ibu-ibu yang terpaksa menahan lapar demi anaknya.
Stunting adalah luka yang diam-diam diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Luka yang tidak berdarah, tetapi menggerus masa depan bangsa.

Harapan yang Menyala di Tengah Gelap
Meski begitu, sosialisasi ini tetap menyalakan sebuah lilin kecil di tengah kegelapan. Hadirnya BKKBN membawa harapan, bahwa pedalaman tidak selalu dibiarkan sendiri. Bahwa anak-anak di sini punya hak yang sama untuk tumbuh