SaguRiau.com (Riau) Pekanbaru– Sidang lanjutan gugatan wanprestasi koperasi produsen sawit sukses makmur (Koppsa-M) sebesar Rp140 miliar terhadap dana talangan negara terus bergulir di Pengadilan Negeri Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau.
Sejumlah saksi yang dihadirkan Koppsa-M silih berganti dihadirkan oleh tim kuasa hukum untuk memberikan kesaksian di hadapan meja hijau. Termasuk, dua dari tiga saksi pada Selasa (8/4/2025) kemarin.
Satu saksi yang dihadirkan Koppsa-M dari Dinas Perkebunan Kabupaten Kampar tidak memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian setelah alpha melengkapi surat tugas dari instansi tempat dia berasal.
Praktis, dua saksi lainnya yang bergantian memberikan kesaksian di muka persidangan, masing-masing adalah Harefa dan Meti Lase. Dalam kesaksiannya, mereka menyebutkan telah bertugas di Koppsa-M pada 2008 sebagai penanam dan pemelihara kebun.
Kepada hakim, mereka juga menuding adanya praktik kecurangan dalam pembangunan kebun sawit seluas 1.650 hektare yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat Desa Pangkalan Baru, namun kini telah berpindah tangan secara gelap itu.
“Ini yang saya bilang omon-omon. Faktanya, kebun itu dibangun 2003, sementara pengakuannya, mereka masuk 2008. Ada rentang yang begitu jauh. Kedua, mereka tidak mampu menunjukkan bukti sama sekali terkait praktik-praktik yang ditudingkan, kecuali hanya omon-omon saja,” kata kuasa hukum PTPN IV Regional III Wahyu Awaluddin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/4/2025).
“Faktanya lagi, saat ini kondisi kebun yang katanya saksi Harefa dan Lase tumbuh serta berproduksi. Ini kan bertolak belakang dengan apa yang mereka sampaikan,” lanjutnya.
Justru, tutur Wahyu, setiap pernyataan yang disampaikan oleh saksi dan narasi yang disampaikan oleh tim kuasa hukum Koppsa-M yang dipimpin Armilis menjurus ke fitnah dan pencemaran nama baik. Tidak tertutup kemungkinan, tim legal akan mengambil langkah hukum atas pernyataan-pernyataan sembrono itu.
“Ini sudah menjurus ke pencemaran nama baik. Karena apa? karena yang disampaikan itu tidak berdasarkan bukti. Asal ngomong, padahal apa yang terjadi di lapangan dia tidak tahu,” ujarnya.
Untuk itu, Wahyu pun mengingatkan agar Koppsa-M dan tim kuasa hukumnya lebih baik fokus pada pembuktian di muka persidangan. Bukan justru, menjadi ajang untuk terus-terusan melempar narasi tidak berdasar.
Koppsa-M sendiri menempuh beragam cara dan berupaya memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Perlu diketahui, gugatan itu sendiri terpaksa ditempuh pasca Koppsa-M yang terus terlilit sengkarut kepengurusan, termasuk terakhir kali eks ketua periode sebelumnya berstatus sebagai terpidana, enggan mengakui dan menyicil hutang atas pembangunan kebun seluas 1.650 hektare sebesar Rp140 miliar.
Upaya persuasif dan diskusi yang ditempuh tidak menemui titik terang, yang bahkan pengurus koperasi yang mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp3 miliar perbulan itu bernyanyi nyaring seolah menjadi korban persekusi. Padahal, PTPN IV yang tidak hanya menjadi coprorate guarantee, namun juga menanggung cicilan hutang pembangunan kebun di perbankan hingga lunas itu mengambil langkah tegas.
Fakta-fakta persidangan kian menarik kala para saksi, yang justru dihadirkan oleh tim kuasa hukum Koppsa-M sendiri kian memperkuat gugatan wanprestasi sebesar Rp140 miliar itu.
Salah satunya ahli perdata Universitas Islam Riau Surizki Febrianto yang menjelaskan bahwa tidak adanya sanggahan, gugatan, maupun tuntutan sejak awal kebun dibangun, hingga tercapainya perjanjian baru di tahun 2013, menandakan pembangunan kebun telah sesuai dengan ketentuan.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, justru perjanjian yang diajukan dan telah disepakati pada tahun 2013 Koppsa-M, justru dilanggar sepihak. Koppsa-M melakukan perjanjian dengan pihak ketiga dan mengusir PTPN IV yang seharusnya melaksanakan sistem single management. Alhasil, kebun menjadi tidak terkelola sesuai teknis budidaya yang baik dan akibatnya menjadi rusak.
Tidak hanya itu, perjanjian tersebut juga dilanggar dengan adanya praktik gelap jual beli lahan di bawah tangan, sementara dasar surat dan dokumen resmi areal masih berada di bank.
Dampaknya adalah ketidakmampuan membayar dana talangan. Padahal dalam perjanjian itu semua dibuat dan disepakati, tapi dilanggar oleh Koppsa-M sendiri. “Itulah bentuk wanprestasi dan itu bisa dijadikan alasan untuk aduan gugatan wanprestasi oleh kita,” tegas Wahyu.
Akademisi bidang hukum pertanian Ermanto Fahamsyah juga telah menilai pengambilalihan sepihak dan dilakukan secara paksa terhadap kebun sawit plasma oleh pengurus koperasi merupakan tindakan wanprestasi.
Tidak hanya pengusiran, pengurus koperasi juga diketahui telah melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, di luar dari perusahaan sebagai bapak angkat. Akibatnya, kebun KKPA tersebut tidak terkelola dengan baik hingga kondisinya memprihatinkan.
Praktik semena-mena semakin melampaui batas kala peruntukan kebun KKPA yang seharusnya dibangun untuk masyarakat desa, ternyata diperjual belikan secara ilegal di bawah tangan. Alhasil, Koppsa-M dihantui beragam persoalan yang hingga kini tak kunjung usai.
Melalui langkah hukum ini, diharapkan menjadi upaya untuk menyelamatkan Koppsa-M dari kepengurusan yang tidak transparan, setelah terakhir kali ketua koperasi periode sebelumnya, Anthony Hamzah, tersandung masalah hukum hingga divonis penjara.*(SG–Diki Andi)