Oleh : Dr. Supardi, SH., MH., Als. Rd Mahmud Sirnadirasa ( Kajati Riau)
وَال صلََةَ وََال سلََ مَ عَََلَى محَ م دَ وََاٰلِهَِ مََعََ اَلت سْلِيْمَِ وََبِهَِ نََسْتَعِيْ نَ فَِى تََحْصِيْلَِ اَلْعِنَايَةَِ اَلْعَآ مةَِ وََالْهِدَايَةَِ اَلت آ مةَِ، آَمِيْنََ يََا رََ بَ اَلْعَالَمِيْنََ
Bismillâhirrahmânirrahîm, Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Para pembaca yang budiman, kajian kita kali ini akan mengeksplorasi tema dasar al-Qur’an, yakni tentang perbedaan antara qath’ie (absolut) dengan dzannie (persangkaan). Secara spesifik, kita tidak mengkaji kedua istilah itu dalam perspektif ilmu Al-Qur’an.
Namun kita hanya akan membawanya pada perspektif kehidupan nyata dalam kaitannya dengan mu’ãmalah (hubungan sosial).
Para Ulama Tafsir setidaknya mengelompokkan al-Qur’an ke dalam ayat-ayat Muhkamãt (jelas dan faktual, qath’ie) dan Mutasyãbihãt (samar, majazi, persangkaan, dzannie).
Muhkamãt biasanya terdiri dari ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum syari’at, sedangkan Mutasyãbihãt biasanya terdiri dari ayat-ayat yang berbicara tentang sesuatu yang bersifat majazi, personifikasi dan perumpamaan yang terkandung dalam kisah-kisah. Mengenai Muhkamãt dan Mutasyãbihãt, Allah SWT berfirman:
هوََ اَل ذِي أََنْزَلََ عََلَيْكََ اَلْكِتَابََ مَِنْهَ آَيَا تَ محْكَمَا تَ ه نَ أَ مَ اَلْكِتَابَِ وََأ خَ رَ متَشَابِهَا تَ ۞ََ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamãt, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyãbihãt”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 7).
Kajian ini hanyalah bersifat tematis dengan tujuan hanya untuk bahan perenungan, bukan untuk mengkaji lebih dalam tentang kerangka ilmu Tafsir.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat bagi para ulama dan pengkaji Ilmu Tafsir yang memang lebih memiliki kompetensi dalam hal ini. Penulis hanya ingin mengeksplorasi makna qath’ie yang bersifat nyata, faktual dan materil (lahiriyah) dan makna dzannie yang bersifat samar, dugaan dan immateril (bathiniyah). Kedua makna itu dapat kita bawa dalam menata cara pandang kita kepada alam semesta. Dalam al-Qur’an, sebuah makna bukan hanya dapat diambil dari satu surat atau satu ayat saja.
Bahkan setiap huruf pun mengandung makna. Karena setiap huruf adalah dasar pembentuk kata dan setiap kata juga dasar pembentuk kalimat. Karena itu, huruf dan kalimat memiliki keterhubungan satu sama lain. Huruf dalam al-Qur’an sifatnya nyata, faktual dan materil (qath’ie).
Sedangkan makna dari huruf sifatnya samar, dugaan dan immateril (dzannie). Huruf Alif, Lãm, dan Mîm pada ayat pertama surat al-Baqarah itu adalah nyata, faktual atau qath’ie. Namun ketika berbicara mengenai makna huruf tersebut, mungkin setiap orang bisa berbeda (dzannie).
Artinya, teks Al-Qur’an bersifat qath’ie, sedangkan menafsirkannya bersifat dugaan (dzannie). Setiap orang memiliki pengalaman inderawi yang kemudian diolah dengan mata batiniah sehingga menimbulkan persepsi individual atau persangkaan individu.
Karena itu, ia lebih bersifat subyektif. Alam semesta yang diindera bersifat obyektif, namun menterjemahkannya hingga menjadi sebuah makna, itu bersifat subyektif. Jika obyek alam semesta yang luas ini diphoto dengan handphone, maka bisa saja terjadi perbedaan antara handphone model lama dengan handphone model baru.
Jenis dan model kamera yang berbeda akan menangkap dan merekam obyek dengan hasil yang juga berbeda. Suara kokok ayam yang berasal dari seekor ayam jago bisa jadi menimbulkan perbedaan di antara orang-orang yang mendengar dan menangkap suaranya.
Ayamnya nyata (obyektif), sementara kokok suaranya adalah persangkaan (subyektif). Namun, tak ada satupun diantara yang mendengar sumber suara itu dapat dijustifikasi sebagai mendengar suara yang paling salah atau yang paling benar.
Coba kita telaah sebuah ayat dalam al-Qur’an lalu kita eksplorasi perspektif qath’ie-nya dan dzannie-nya. Allah SWT berfirman:
الم ۞َ ذََٰلِكََ اَلْكِتَا بَ لَََ رَََيْبََ فََِۛيهَِ هدًى لَِلْ مت قِينََ ۞َ
Alif, Lãm, Mîm, dzãlikal kitãbu lã rayba fîhi hudal lil-muttaqîn “Alif, Lãm, Mîm, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 1-2).
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa “Kitab al-Qur’an dapat menjadi petunjuk bagi orang bertaqwa“. Al-Qur’an sebagai “petunjuk” (hudã) merupakan kalimat absolut (qath’ie). Namun, bagaimana menterjemahkan “petunjuk” itu, merupakan persangkaan (dzannie).
Dalam hal ini, setiap orang mungkin bisa berbeda dalam menterjemahkan kata “petunjuk” (hudã). Bukan al-Qur’an-nya yang berbeda, tapi cara melihat petunjuk dalam al-Qur’an itu yang mungkin sangat subyektif dan bisa berbeda satu sama lain. Kitab al-Qur’an bersifat obyektif, faktual, materil dan qath’ie, namun penafsiran dalam rangka mendapatkan “petunjuk” (hudã) itu bersifat subyektif, persangkaan, immateril dan dzannie. Manusia hanya diperintah untuk saling berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba mengklaim kebenaran.
Fastabiqul khairãt (berlomba-lombalah dalam kebaikan), bukan fastabiqul haq (berlomba-lombalah dalam kebenaran). Kebenaran itu hanyalah hak Allah SWT. Sementara manusia tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar satu sama lain. Tiadalah kebenaran absolut di dunia ini, kecuali hanyalah persangkaan manusia saja. Hak mutlak kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
Pada satu sisi, ada ibadah yang berkategori mahdhah, yakni ibadah yang telah ditentukan syarat, rukun dan syari’atnya. Secara kata, ia dimaknai murni (pure) atau tidak bercampur.
Namun pada sisi lain, ada ibadah yang dikategorikan sebagai ghairu mahdhah, yakni ibadah yang dimaknai sebagai tidak murni. Ibadah ghairu mahdhah pada dasarnya bukanlah ibadah, tetapi ia hanyalah mu’ãmalah dalam kehidupan sosial. Namun demikian, ibadah ghairu mahdhah juga dikategorikan sebagai ibadah jika dalam prakteknya diniatkan untuk beribadah.
Karena itu, ibadah ghairu mahdhah dapat disebut sebagai ibadah dengan cara mu’ãlamah. Pada kondisi seperti ini, ibadah itu mengalami perluasan makna (ittasa’at). Dalam Al-Qur’an, perintah ibadah mahdhah sebanyak 3-4% dan ibadah ghairu mahdhah sekitar 96%.
Perintah ibadah mahdhah itu bersifat obyektif atau qath’ie, kategori ayatnya adalah Muhkamãt (jelas) dan daya tekan hukum syar’ie-nya bersifat imperatif. Sementara berbicara angka 96% dalam hal ibadah ghairu mahdhah, pada dasarnya ia bersifat subyektif, persangkaan atau dzannie,
kategori ayatnya adalah Mutasyãbihãt (majazi) dan daya tekan hukum syar’ie-nya bersifat fakultatif. Ibadah ghairu mahdhah bukanlah kebenaran absolut, sehingga istilah bid’ah (mengada-ada) dan ghairu bid’ah (tidak mengada-ada) tidak perlu dipertentangkan. Kecuali menambah sesuatu dalam area yang 3-4%, maka ini menyalahi sesuatu yang sudah qath’ie.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Marilah kita cukupkan segala hal yang mengarah kepada perpecahan karena sebuah pemahaman yang subyektif.
Simpanlah rapat-rapat jika sesuatu yang diyakini dalam hal persangkaan (dzann) itu sebagai kebenaran. Munculkanlah perlombaan dalam kebaikan (khairãt), dengan tetap menyimpan dalam-dalam alasan “cinta Tuhan” dalam kebaikan itu. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb. Mari kita tutup kajian ini dengan doa:
اللّٰ ه مَ أَََرِنَا اََلْحَ قَ حَََقًّا وَََارْ زقْنَا اََت بَاعَه ، وَََأَرِنَا اََلْبَاطِلََ بَََاطِلًََ وَََارْ زقْنَا اََجْتِنَابَه ، وَََلََ تَََجْعَلْهَ ملْتَبِسًاَََ
عَلَيْنَا فََنَضِ ل، وََاجْعََلْنَا لَِلْ مت قِينََ إَِمَامًا .َ
Allãhumma arinal haqqa haqqan warzuqnat tibã’ahu, wa arinal bãthila bãthilan warzuqnaj-tinãbah, wa lã taj’alhu multabisan ‘alaynã fanadhilla, waj’alnã lil-muttaqîna imãmã.
“Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya, janganlah Engkau menjadikannya samar di hadapan kami sehingga kami tersesat, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
Pekanbaru, 16 April 2023